Jumat, 04 Desember 2015



LAPORAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI DAN PARASITOLOGI
ACARA II
CARA PEMERIKSAAN TELUR CACING PADA JARI-JARI TANGAN

A.  TUJUAN

1.    Dapat mengetahui cara pemeriksaan telur cacing pada jari-jari tangan.
2.    Dapat mengamati berbagai macam telur cacing yang ada pada jari-jari tangan.

B.   DASAR TEORI

Makanan adalah sumber energi satu–satunya bagi kebutuhan tubuh manusia. Makanan selain banyak mengandung nilai gizi juga merupakan media untuk dapat berkembang-biaknya mikroba ataupun kuman-kuman terutama makanan yang sudah membusuk yaitu makanan yang mengandung kadar air serta nilai protein yang tinggi. Kemungkinan untuk jalan masuknya faktor pencemar lainnya seperti bahan kimia antara lain: debu, tanah, rambut manusia yang dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Hal ini tidak mungkin dikehendaki karena orang yang mengkonsumsi makanan bermaksud untuk mendapatkan sumber energi agar tetap bertahan hidup agar tidak menjadi sakit karenanya. Sanitasi makanan menjadi sangat penting  (Slamet,2002).
Siklus hidup parasit pada umumnya dapat dibedakan menjadi 2 tipe: Yaitu tipe langsung dan tipe tidak langsung. Pada siklus hidup tipe langsung, parasit hanya membutuhkan satu inang (Hospes) yaitu hospes definitif dan tidak memerlukan hospes perantara, sedangkan parasit yang bersiklus langsung mempunyai bentuk yang mandiri. Didalam fase bentuk mandiri tersebut parasit menyiapkan diri untuk menghasilkan stadium infektifnya. Pada siklus hidup tidak langsung parasit membutuhkan satu hospes definitif sebagai hospes akhir dan disamping itu diperlukan pula satu atau lebih hospes perantara. Didalam tubuh hospes perantara tersebut parasit tumbuh dan berkembangbiak secara aseksual menjadi bentuk infektifnya, sedangkan didalam tubuh hospes definitif parasit tumbuh menjadi bentuk dewasa dan berkembangbiak secara aseksual. Cara infeksi dibedakan menjadi dua yaitu melalui mulut yang tertelan bersama makanan dan minuman yang dikonsumsinya dan melalui kulit (Widyastuti, 1999).
Nematoda mempunyai jumlah spesies yang terbesar diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Nematoda terdiri dari beberapa spesies, yang banyak ditemukan didaerah tropis dan tersebar diseluruh dunia. Seluruh spesies cacing ini berbentuk silindrik (gilig), memanjang dan bilateral simetris.cacing-cacing ini berbeda-beda dalam habitat,siklus hidup,dan hubungan hospes-habitat (host-parasite relationship). Cacing ini bersifat uniseksual sehingga ada jenis jantan dan betina. Cacing yang menginfeksi manusia diantaranya adalah N.americanus dan A.duodenale sedangkan  yang menginfeksi hewan (anjing/kucing) baik liar maupun domestik adalah A.ceylanicum meskipun cacing ini dilaporkan dapat menjadi dewasa dalam usus halus manusia dan tidak pernah menyebabkan creeping eruption, sedangkan  A.caninum dan A.braziliense tidak dapat menjadi dewasa dalam usus halus manusia dan menyebabkan creeping eruption pada manusia (Soedarto, 1991)
Akibat utama yang ditimbulkan bila menginfeksi manusia atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena Nematoda dapat menyebabkan pendarahan di usus. Perbedaan morfologi antar spesies dapat dilihat dari bentuk rongga mulut, ada tidaknya gigi, dan bentuk bursa kopulatriks cacing jantan. tambang tersebar luas di daerah tropis, pencegahan tergantung pada sanitasi lingkungan, kebiasaan berdefikasi, dan memakai alas kaki. Strongyloides stercoralis merupakan cacing Nematoda usus yang hidup parasit pada manusia, namun dalam siklus hidupnya terdapat fase hidup bebas di tanah. Bentuk telurnya sulit dibedakan dengan telur cacing tambang (Gandahusada, 2006).
Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminthiasis). Penyakit kecacingan masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai golongan umur, namun prevalensi tertinggi ditemukan pada anak balita dan usia SD. Dari penelitian didapatkan prevalensi penyakit cacingan sebesar 60–70%. Penelitian di beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan, kasus infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sekitar 25–35% dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) 65–75%. Risiko tertinggi terutama kelompok anak yang mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan, dan bermain - main di tanah yang tercemar telur cacing tanpa alas kaki (Rusmanto, 2012).
Penyakit infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi pada penduduk didaerah tropis dan sub tropis termasuk Indonesia. Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah disebut dengan Soil Transmitted Helminth (STH). Penyakit yang disebabkan oleh cacing STH dapat menyebabkan gangguan penyerapan gizi, anemia, gangguan pertumbuhan dan menurunkan kecerdasan pada anak serta penurunan produktivitas pada orang dewasa, tetapi karena infeksi yang terjadi sering tanpa gejala, sehingga penyakit ini kurang mendapat perhatian (Inayati, 2015).
Infeksi cacing merupakan penyakit parasit yang endemik di Indonesia. Sebanyak 60–80% penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan menderita infeksi cacing terutama infeksi cacing perut. Faktor tingginya infeksi ini adalah letak geografik Indonesia di daerah tropik yang mempunyai iklim yang panas, akan tetapi lembap sehingga memungkinkan cacing perut dapat berkembang biak dengan baik. Banyak penduduk Indonesia yang masih berpendidikan rendah, sehingga pengetahuan tentang cara hidup sehat, cara untuk menjaga kebersihan perorangan bagi dirinya dan kebersihan makanan dan minuman serta cara makan belum diketahui dengan baik. Banyak keluarga yang tidak memiliki jamban keluarga sehingga mereka membuang kotoran atau buang air besar di tanah. Penduduk yang sangat padat lebih mempermudah penyebaran infeksi cacing perut ini (Perdana, 2013).
Perilaku personal higiene siswa yang menjadi faktor resiko infeksi kecacingan antara lain kebersihan kuku, penggunaan alas kaki, dan kebiasaan cuci tangan. Kebersihan kuku memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan.mKebersihan kuku memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Terdapat hubungan yang signifikan antara kebersihan kuku dengan infeksi kecacingan, dimana siswa yang memiliki kebersihan kuku yang tidak baik berpeluang 25,186 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang memiliki kebersihan kuku yang baik. Penggunaan alas kaki juga memberikan pengaruh terhadap kejadian infeksi kecacingan, dimana siswa yang memiliki kebiasaan penggunaan alas kaki  yang tidak baik berpeluang 5,524 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang memiliki kebiasaan penggunaan alas kaki yang baik (Fitri, 2012).

C.  ALAT DAN BAHAN
     ALAT :
1.      Kaca benda                             (4 buah)
2.      Kaca penutup                           (4 buah)
3.      Cawan petri                              (4 buah)
4.      Pinset                                        (3 buah)
5.      Kain kasa (5cm x 5cm) (4 buah)
6.      Tabung sentrifuse                     (4 buah)
7.      Pipet dengan balon karet          (4 buah)

BAHAN :
1.      Larutan NaOH 0,25 %             (32 mL)

D.  CARA KERJA
1.      Kain kasa dicelupkan dalam cawan petri yang berisi larutan NaOH 0,25 %.
2.      Jari-jari tangan dibersihkan dengan kain kasa yang telah dicelupkan dengan larutan NaOH 0,25%.
3.      Kain kasa dicelupkan beberapa kali dalam cawan petri yang berisi larutan NaOH tadi dan diperas.
4.      Larutan NaOH 0,25% yang kotor dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse.
5.      Dipusingkan dengan alat sentrifugasi dengan kecepatan putar 2000 rpm selama 3 menit.
6.      Cairan supernatant di buang.
7.      Diambil sedimen (endapan) dengan pipet.
8.      Diletakkan pada kaca benda dan ditutup dengan kaca penutup.
9.      Diperiksa dan diamati di bawah mikroskop.
10.  Gambar difoto dan dicatat perbesarannya.

E.   HASIL PENGAMATAN

Kelompok
Nama Cacing
Gambar
1
































2
Larva Taenium saginata (Cacing pita)






Telur Ascaris lumbricoides (Cacing gelang)







Negatif (-)







Negatif (-)






Telur Enterobius vermicularis (Cacing kremi)





Negatif (-)





Negatif (-)






Negatif (-)

3




























Negatif (-)







Negatif (-)






Negatif (-)








Negatif (-)






F.   PEMBAHASAN
Dalam praktikum mikrobiologi dan parasitologi acara II ini bertujuan untuk dapat mengetahui cara pemeriksaan telur cacing pada jari-jari tangan dan dapat mengamati berbagai macam telur cacing yang ada pada jari-jari tangan.
Pada pemeriksaan adanya telur cacing pada praktikum ini menggunakan metode tak langsung dengan metode pengendapan (sedimentasi). Prinsip dari metode ini adalah supernatant diambil dan disentrifuse sehingga akan terbentuk endapan dan supernatannya, di dalam endapan tersebut terdapat telur cacing. Sampel yang digunakan adalah jari-jari tangan 4 anak perkelompok. Menggunakan larutan NaOH untuk membersihkan jari-jari tangan, larutan NaOH digunakan untuk fiksasi. Kain kasa dicelupkan dalam cawan petri yang berisi larutan NaOH 0,25 % sebanyak 8 mL per cawan. Konsentrasi NaOH ini tidak berbahaya ataupun menimbulkan iritasi sehingga aman untuk digunakan pada tangan. Kain kasa yang telah dicelupkan digunakan untuk membersihkan jari-jari tangan. Jari-jari tangan dibersihkan hingga sampai pada sela-sela jari tangan. Setelah itu kain kasa yang kotor dicelupkan kembali pada larutan NaOH 0,25% beberapa kali dengan pinset. Pinset digunakan untuk mencelupkan kain kasa pada larutan NaOH yang kotor. Kemudian larutan NaOH yang kotor dimasukkan dalam tabung sentrifuse dan dipusingkan selama 3 menit dengan kecepatan putar 2000 rpm. Tujuan disentrifugasi atau dipusingkan adalah untuk mendapatkan endapan. Endapan tersebut berisi telur cacing.
Supernatant (cairan) dikeluarkan dan dibuang secara hati-hati agar tidak menyebabkan perubahan bentuk telur. Endapan atau sedimen diambil.dengan menggunakan pipet. Lalu diletakkan pada kaca benda dan ditutup dengan kaca penutup untuk diperiksa adanya telur cacing dibawah mikroskop.
Dari ke empat anak yang dilakukan pengujian, hasil tiap kelompok berbeda-beda. Dari percobaan yang dilakukan tidak semuanya menghasilkan hasil telur atau larva cacing yang positif.
Pada kelompok 1, dari keempat anak yang diuji terdapat 2 yang menunjukkan hasil positif telur cacing yaitu larva Taenium saginata (cacing pita) dan telur Ascaris lumbricoides (cacing gelang). Dimana sisanya merupakan serabut tanaman atau kotoran yang tidak menunjukkan bahwa itu telur ataupun larva dari cacing (dibandingkan dengan sumber). Tidak mungkin jika di jari tangan tidak terdapat kotoran. Sehingga hasil ini dikatakan negatif.  Penjelasan dari larva Taenium saginata dan telur Ascaris lumbricoides sebagai berikut :
1.    Larva Taenium saginata (cacing pita)
Cacing pita merupakan cacing pipih dari kelas cestoda yang hidup parasit pada manusia (inang definitif) dan inang perantaranya (hospes perantara) adalah sapi. Termasuk filum plathyhelminthes.  Ciri-ciri dari cacing pita (Taenium saginata) ini antara lain:
a.       Struktur tubuh cacing pita terdiri dari bagian ujung anterior (depan), posterior (belakang), dorsal (punggung) dan ventral (perut).
b.      Tubuhnya terdiri dari kepala yang disebut scolex pada bagian ini terdapat alat hisap.
c.       Pada hewan yang bersenjata di kepalanya terdapat alat pengait (rostelum).
d.      Pada bagian belakang tubuh disusun oleh rangkaian segmen disebut proglotid, tiap proglotid mempunyai alat reproduksi sendiri.
e.       Hermaprodite (memiliki 2 organ kelamin).
f.       Tidak mempunyai alat pencernaan makanan.
g.      Bernapas dengan seluruh permukaan tubuh.
h.      Cacing pita ini berwarna putih pucat, tanpa mulut, tanpa anus dan tanpa saluran pencernaan.
i.        Badannya tidak berongga dan terdiri dari segmen-segmen berukuran 1 x 1,5 cm.
j.        Jumlah telur lebih darilebih dari 100.000 di setiap segmen.
Panjang Taenia saginata bisa mencapai 8 meter, hampir sepanjang saluran pencernaan manusia dewasa. Taenia saginata bisa hidup sampai 25 tahun di dalam usus inangnya.
               Habitat hidup cacing pita (Taenia saginata) ini adalah di dalam usus halus manusia yang merupakan hospes definitifnya.
               Siklus hidup cacing ini dimulai dari terlepasnya proglotid tua bersama feses manusia. Di dalam setiap proglotid terdapat ribuan telur yang telah dibuahi (zigot). Zigot tersebut kemudian berkembang menjadi larva onkosfer di dalam kulit telur. Jika telur tersebut termakan sapi saat merumput, enzim pencernaan sapi membuat telur menetas dan melepaskan zigot yang kemudian menjadi larva. Larva Taenia saginata terbentuk setelah 12-15 minggu. Larva onkosfer akan menembus usus masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limfa dan akhirnya sampai di otot lurik. Di dalam otot sapi, larva onkosfer berubah menjadi kista dan berkembang menjadi cacing gelembung atau sisteserkus yang membentuk skoleks pada dindingnya. Ketika daging sapi yang masih mentah atau setengah matang tersebut dimakan manusia (kemungkinan sisteserkus masih hidup), di dalam usus manusia skoleks tersebut akan keluar lalu menempel pada dinding usus halus, kemudian tumbuh dewasa hingga mencapai 5 meter dalam waktu 3 bulan dan membentuk proglotid-proglotid baru. Kemudian siklus hidupnya terulang kembali. Infeksi terjadi jika menelan larva bentuk infektif atau menelan telur.
Kerugian dari adanya cacing pita (Taenia saginata) adalah infeksi oleh di dalam usus menyebabkan penyakit Taeniasis. Cara infeksinya melalui oral karena memakan daging sapi yang mentah atau setengah matang dan m-ngandung larva cysticercus. Di dalam usus halus, larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala gastrointestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah epigastrium, napsu makan menurun atau meningkat, diare atau kadang-kadang konstipasi. Selain itu, gizi penderita bisa menjadi buruk sehingga terjadi anemia malnutrisi. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan eosinofilia. Semua gejala tersebut tidak spesifik bahkan sebagian besar kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala (asimtomatik). Cacing dewasa Taenia saginata biasanya menyebabkan gejala klinis yang ringan, seperti sakit ulu hati, perut merasa tidak enak, mual, muntah, diare, pusing atau gugup. Gejala-gejala tersebut disertai dengan ditemukannya proglotid cacing yang bergerak-gerak lewat dubur bersama dengan atau tanpa tinja. Gejala yang lebih berat dapat terjadi, yaitu apabila proglotid masuk ke apendiks atau ileus yang disebabkan oleh obstruksi usus oleh strobilla cacing. Dan berat badan menurun tak menentu. Secara umum, cacing pita ini tidak memiliki manfaat.
Cacing Taenia saginata sering ditemukan di Negara yang penduduknya banyak makan daging sapi atau kerbau. Cara penduduk memakan daging tersebut yaitu matang, setengah matang atau bahkan mentah sama sekali tanpa proses pemasakan. Cara makan dan cara memelihara ternak inilah yang kemudian menjadi berperan dalam proses terjadinya infeksi cacing Taenia. Ternak yang dilepas di padang rumput lebih mudah dihinggapi cacing gelembung tersebut, daripada ternak yang dipelihara dan dirawat dengan baik di kandang secara tertutup. Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan cara mendinginkan daging yang akan dikonsumsi sampai suhu -10 derajat Celsius, iradiasi dan memasak daging sampai matang. Serta menjaga kandang ternak agar tetap bersih.
2.         Telur Ascaris lumbricoides (Cacing gelang)
                               Ascaris lumbricoides atau cacing gelang adalah salah satu jenis cacing nematoda intestinalis dengan ukuran terbesar yang merupakan cacing tanah yang menginfeksi manusia. Cacing Ascaris dewasa lembut dengan warna merah muda sampai putih. Berbentuk silinder dengan meruncing di kedua ujung cacing. Hal ini dapat mencapai hingga 35cm panjangnya, dengan betina lebih panjang dari jantan. Ciri-ciri cacing gelang ini antara lain :
a.    Ukuran Ascaris betina (22-35 cm) lebih besar daripada ascaris jantan (10-20 cm) dan diameter kurang lebih 0,75 cm.
b.    Pada cacing jantan, ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral dan dilengkapi pepil kecil serta dua buah spekulum berukuran 2 mm.
c.    Cacing betina posteriornya membulat dan lurus, dan sepertiga bagian anterior tubuhnya terdapat cincin kopulasi, tubuhnya berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula bergaris halus.
d.   Bersifat kosmopolit, hampir ditemukan diseluruh dunia dengan tingkat prevelensi penyakit yang ditimbulkan 70-80%.
e.    Ascaris betina mampu bertelur sekitar 200 ribu telur perhari dengan ukuran telur yang sudah dibuahi lebih kecil (60x45mikron) daripada yang tidak dibuahi (90x40mikron).
f.     Berkembangbiak secara seksual.
g.    Pada bagian anterior terdapat mulut yang mempunyai 3 bibir, masing-masing mempunyai gigi tajam.
h.    Pada bagian ventral di belakang mulut terdapat lubang ekskresi.
i.      Bernafas dengan cara melakukan pertukaran gas oleh permukaan tubuh secara osmosis.
j.      Susunan syaraf sederhana, yaitu 2 tali syaraf yang terdapat pada bagian dorsal dan ventral.
k.    Bersifat parasit. Cacing ini menyebabkan penyakit askariasis (cacingan) umumnya pada anak-anak, infeksi terjadi jika seseorang mengkonsumsi makanan/minuman yang tercemar telur Ascaris.
                        Cacing gelang mempunyai habitat di usus halus manusia sehingga disana cacing gelang menghisap banyak nutrisi dan karena ukurannya yang besar menghambat penyerapan nutrisi oleh usus yang lama kelamaan dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk. Seekor cacing gelang betina dapat menghasilkan 200.000 ribu telur per hari. Sungguh jumlah yang sangat tidak sedikit. Telur yang dihasilkan akan dikeluarkan bersama dengan feses, lalu apabila telur berada di tanah maka dalam beberapa hari didalam telur akan terkandung larva.
                        Siklus hidup Ascaris lumbricoides memakan waktu sekitar tiga bulan. Siklus hidup dimulai ketika telur Ascaris lumbricoides yang tidak sengaja tertelan. Mereka dapat diperoleh dari jari-jari kotor, air atau makanan yang telah terkontaminasi dengan kotoran dari manusia yang terinfeksi. Larva menetas dari telur, menembus dinding usus dan memasuki aliran darah. Mereka berhenti di arteri paru dan tinggal di paru-paru selama dua minggu. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui bronchioles dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, untuk ditelan lagi. Migrasi diperlukan larva untuk berkembang menjadi dewasa. Cacing dewasa menempel pada dinding usus halus siap untuk pembuahan. Cacing dewasa bertahan hidup dengan makan makanan yang dicerna oleh inang (manusia) dan hidup sampai 2 tahun. Cacing betina memproduksi sekitar 200 000 telur mikroskopis per hari. Telur dikeluarkan bersama feses. Telur dibuahi ke tahap infektif dalam beberapa minggu dalam kondisi yang tepat dalam tanah yang lembap dan hangat. Telur yang tidak dibuahi tidak infektif. Telur akan matang selama 2-3 minggu. Telur sangat tahan terhadap bahan kimia, suhu ekstrim dan kondisi kasar lain dan dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan. Siklus akan berulang lagi.
                        Cacing gelang saat ini telah banyak dimanfaatkan untuk bahan makanan dan sebagai obat untuk menyembuhkan suatu penyakit. Cacing gelang dapat bermanfaat sebagai antitrombosis, melancarkan air seni (diuresis), menetralkan bisa gigitan laba-laba, mengobati sakit malaria, membasmi cacing pita, mengobati sakit kuning dengan perut buncit, meredakan demam dan kejang demam dan menyembuhkan stroke. Sedangkan kerugian adanya cacing gelang (Ascaris lumbricoides) antara lain menyebabkan penyakit askariasis, apabila hidup di usus manusia dapat mengakibatkan kekurangan karbohidrat dan nutrisi karena cacing gelang menyerap nutrisi yang ada dalam tubuh dan mengakibatkan sakit perut, muntah serta penyumbatan usus dan jika saat di paru-paru cacing akan menembus sistem saluran pernafasan lalu ke tenggorokan yang nantinya akan menyebabkan batuk-batuk.
                        Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides.
                        Di pedesaan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik. Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23oC sampai 30oC. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan. Pencegahannya dapat dilakukan dengan perbaikan sanitasi, menjaga kebersihan lingkungan dan perorangan, tidak menggunakan pupuk tinja sebagai pupuk tanaman, sebelum makan hendaknya tangan dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun serta bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun, pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.
Pada kelompok 2 dari keempat anak yang melakukan pengujian hanya terdapat 1 yang memberikan hasil positif yaitu telur Enterobius vermicularis (Cacing kremi). Yang lainnya menunjukkan hasil negative (bukan telur/larva cacing). Seperti sebelumnya, gambar yang menunjukkan hasil negatif merupakan gambar serat tumbuhan dan kotoran yang terdapat pada jari-jari tangan. Diamati dengan perbesaran mikroskop 100 X. Penjelasan dari telur Enterobius vermicularis (Cacing kremi) yaitu :
1.      Telur Enterobius vermicularis (Cacing kremi)
             Enterobius vermicularis lebih dikenal dengan nama cacing kremi ini tergolong dalam takson Nemathelminthes dan kelas Nematoda. Cacing ini merupakan parasit bagi tubuh manusia. Manusia merupakan hospes satu-satunya dari cacing ini. Artinya cacing ini hanya dapat berkembang biak di dalam tubuh manusia khususnya di dalam usus. Penyakit yang disebabkan oleh cacing kremi disebut enterobiasis. Cirri-ciri dari cacing kremi jenis ini adalah :
a.    Cacing dewasa  Enterobius vermicularis berukuran kecil, berwarna putih, yang betina jauh lebih besar dari pada yang jantan. 
b.    Ukuran cacing jantan 2-5 mm, mempunyai sayap dan ekornya melingkar seperti tanda tanya. Sedangkan ukuran cacing betina adalah 8- 13 mm x 0,4mm, cacing betina mempunyai sayap, bulbus esophagus sangat jelas, ekornya panjang dan runcing. 
c.    Uterus cacing betina berbentuk gravid melebar dan penuh dengan telur. 
d.   Bentuk khas dari  Enterobius vermicularis dewasa  adalah tidak terdapat rongga mulut tetapi dijumpai adanya 3 buah bibir, bentuk esofagus bulbus ganda (double bulb oesophagus), didaerah anterior sekitar leher kutikulum cacing melebar, pelebaran yang khas disebut sayap leher (cervical alae).
e.    Ukuran telur E. vermicularis yaitu 50 - 60 mikron x 20 - 30 mikron (rata - rata 55 x 26 mikron). Telur berbentuk asimetris, tidak berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar dan salah satu sisinya data
f.     Telur berbentuk asimetris, tidak berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar dan salah satu sisinya datar, didalamnya berisi massa bergranula berbentuk oval yang teratur, kecil, atau berisi embrio cacing, suatu larva kecil yang melingkar.
                        Habitat hidup cacing Enterobius vermicularis ini adalah di sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan sekum.
            Daur hidup cacing Enterobius vermicularis mulai dari tertelannya telur infektif sampai menjadi cacing dewasa gravid. Cacing betina yang gravid mengandung sekitar 11.000-15.000 butir telur, berimigrasi ke perianal pada malam hari untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang di keluarkan di usus sehingga jarang di temukan di tinja. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah di keluarkan pada suhu badan. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Cacing jantan mati setelah populasi, dan cacing betina mati setelah bertelur. Mulai dari tertelannya telur infektif sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal dan memerlukan waktu kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. Cacing di usus akan bergerak menuju anus dan bertelur di anus sehingga menyebabkan gatal pada anus (pruritus ani). Jika digaruk dengan tangan dan tidak cuci tangan maka telur infektif tertelan dan menetas di duodenum. Cacing dewasa di jejunum. Dapat juga melalui telur infektif menempel pada pakaian yang  dijemur  dan telur terbawa angin lalu tertelan.
            Cacing kremi dapat menimbulkan rasa gatal (pruritus ani) mulai dari rasa gatal sampai timbul rasa nyeri. Akibat garukan akan menimbulkan iritasi di sekitar anus, kadang sampai terjadi perdarahan dan disertai infeksi bakteri. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari. Hal ini akan menyebabkan gangguan tidur pada anak–anak (insomnia) oleh karena rasa gatal, anak akan kurang tidur dan badannya pun menjadi lemah. Nafsu makan menurun dan berat badannya berkurang. Adanya migrasi cacing betina ke vagina, rahim dan akhirnya ke tuba fallopi dapat menimbulkan radang saluran telur atau salpingitis. Secara umum cacing kremi (Enterobius vermicularis) bersifat parasit dan tidak memiliki manfaat.
            Cacing ini sebagian besar menginfeksi anak-anak, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Meskipun penyakit ini banyak di temukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang mereka dari golongan ekonomi yang lebih mapan juga terinfeksi.  Udara yang dingin, lembab dan ventilasi yang jelek merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan telur. Pencegahan dapat dilakukan dengan mencuci tangan dengan sabun dan bilas dengan air bersih yang mengalir sebelum dan setelah makan, mencuci dengan air bersih yang mengalir semua bahan makanan dan masak dengan matang dan menjaga kebersihan rumah dan lingkungan.

            Pada kelompok 3, semua sampel (jari-jari tangan) menunjukkan hasil yang negatif. Hasilnya bukan telur atau larva dari suatu cacing tetapi merupakan kotoran yang terdapat pada jari tangan.

G.  KESIMPULAN
       Dalam praktikum ini, diperoleh 3 jenis cacing pada jari-jari tangan yang menunjukkan hasil positif. Yaitu Larva Taenium saginata (Cacing pita), telur Ascaris lumbricoides (Cacing gelang) dan telur Enterobius vermicularis (Cacing kremi). Masing-masing cacing memiliki ciri-ciri, siklus hidup dan menyebabkan penyakit yang berbeda-beda. Adanya cacing pada jari-jari tangan merupakan tanda bahwa tidak terjaganya kebersihan tangan.

H.  DAFTAR PUSTAKA
Fitri, J., Saam, Z., Hamidy, M.Y. 2012. Analisis Faktor-Faktor Risiko Infeksi Kecacingan Murid Sekolah Dasar Di Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012. Jurnal Ilmu Lingkungan.
Gandahusada, S. 2006. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Inayati, N., Tatontos, E.Y., Fihiruddin. 2015. Infeksi Cacing Soil Transmitted Helminths Pada Penjual Tanaman Hias Di Bintaro Kota Mataram. Jurnal Media Bina Ilmiah. Volume 9, Nomor 4.
Perdana, A.S., Keman, S. 2013. Hubungan Higiene Tangan Dan Kuku Dengan Kejadian Enterobiasis Pada Siswa Sdn Kenjeran No. 248 Kecamatan Bulak Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Volume. 7, Nomor 1 : 7-13
Rusmanto, Dwi, J Mukono. 2012. Hubungan Personal Higyene Siswa Sekolah Dasar dengan Kejadian Kecacingan. The Indonesian Journal of Publick Health. Vol. 8: 105-111
Slamet, S.J. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Soedarto. 1991. Helmintologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC
Widyastuti, Retno dkk Setyorini, A. C. dan Purwaningsih, E. 1999. Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi. Bogor : Puslitbang Biologi-LIPI

I.     LAMPIRAN







Mengetahui                                                                 Surakata, 24 November 2015
Asisten praktikum                                                                        Praktikan




(                                               )                                                 ( ZAHRA YUSVIDA )